Wednesday, June 1, 2016

Holistik dalam Mengkaji Hukum dan Internet

Studi Hukum sejak lama menjadi bidang yang tidak berdiri sendiri, terkait dan terhubung dengan banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya.


Di dalam melakukan kajian terhadap hukum dan internet tidak terkecuali, memerlukan, bahkan bisa jadi lebih banyak cabang ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk menjadikan kajiannya komprehensif. Hal tersebut dituntut ada dalam diri seorang peneliti, yang setidaknya memiliki pengetahuan memadai dalam Ilmu Hukum, Ilmu Komputer, dan wawasan tentang Internet.

Setidaknya, memang masih 'setidaknya'.

Masih bisa kita temui keterbatasan-keterbatasan pemahaman dalam pelbagai buku yang mengkaji tentang hukum dan internet. Penulis terkadang terkecoh dengan cerita-cerita fiksi dan karya-karya novel yang khas pop-culture tentang hacker, pelaku kejahatan internet, dan logika tentang internet itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, imajinasi melebar dalam The Matrix tentang para hacker (peretas) dan kehidupan mereka sudah sedemikian nge-trend, mempengaruhi imajinasi. Tidak lupa juga novelnya William Gibson, Neuromancer. Baik film maupun novel memang lebih mudah dinikmati dan masuk dalam benak siapa saja, dalam bentuknya sebagai hiburan.

Dengan ringkas dengan menyimak beberapa ceramah Misha Glenny di TED.com kita mendapatkan informasi tentang betapa pentingnya mengulas latar belakang psikologis dari orang per orang para pelaku kejahatan internet. Ya, memang ketika kita membahas sebagai manusia, pelaku kejahatan adalah obyek dari studi psikologi. Yang tidak bisa kita pisahkan dari kajian kriminologi yang terhubung dengan berbagai analisis penelitian tindak kejahatan dalam studi hukum.

Misha Glenny (dengan bukunya 'Dark Market' yang membuat saya penasaran), yang diuraikan sedikit dalam salah satu ceramahnya di TED.com: "Hire The Hackers!". Saya bisa berasumsi, bahwa tidak selamanya para peretas itu mau menjadi peretas untuk selamanya, latar belakang depresif juga bisa jadi mempengaruhi para pelaku kejahatan Internet, permasalahan ekonomi juga terhubung dalam rantai permasalahan mereka, hingga permasalahan-permasalahan di latar belakang sosial juga membentuk karakter ideologis yang mereka bawa dalam setiap serangannya.

Misha Glenny mengajak kita untuk meng-hire para hackers.

Pekerjakan mereka dengan penghasilan yang layak, dengan ruang dan lingkungan kerja yang mereka sukai dan mendukung perkembangan mereka dalam hal yang mereka sukai itu secara berkelanjutan. Saya rasa dua hal itu bisa menguntungkan untuk stabilitas keadaan dalam ruang sosial, sebagaimana diidamkan idelis-idealis konsep negara hukum.

Secara keseluruhan ini hanya bagian dari keseluruhan (holistik) untuk berusaha melihat kejahatan dan pelakunya di dalam tindak pidana peretasan (di Internet). Masih banyak andil yang kita perlukan untuk menyusun keping-keping puzzle-nya. Demi obyektifitas studi hukum. [sr]

Thursday, March 31, 2016

Membuka Lahan untuk Studi Cyber Law di Indonesia

Menarik perhatian saya sejak awal adalah, seperti pandangan umum siapa saja yang pertama kali melihat efek negatif yang bersama-sama hadir dengan pengaruh positif arus keterbukaan informasi di dunia, melalui Internet.

Dengan terkejut dan terperangah, saat saya sendiri masih belajar bagaimana cara situs-situs daring bekerja, ada beberapa anak muda(-mudi) 'mabuk' dalam pengaruh negatif keterbukaan akses data yang sedemikian besar, mereka menikmati visual daring (dalam jaringan / online) dan merubah pola luring (luar jaringan / offline) mereka sendiri.

Arus besar ini bisa mendatangkan banyak efisiensi dalam sektor-sektor yang sebelumnya sangat manual. Pengumpulan, pertukaran, pengolahan, pengelolaan, dan pemanfaatan data untuk berbagai kebijakan analitis. Dari berbagai sektor.

Dari tuntutan efisiensi ini memunculkan bermacam jenis pekerjaan baru, baik berupa profesi yang belum ada sebelumnya, ataupun modifikasi dari profesi lama untuk menyesuaikan dengan sistem kelola informasi yang baru. Dan naas bagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena alasan klasik (yang sebenarnya modern), efisiensi.

Melihat sedemikian peliknya perubahan dan potensi permasalahan yang muncul, tidak sedikit yang berusaha meluaskan wawasan untuk mencari keteraturan yang sesuai dengan kondisi zaman. Banyak yang sudah berusaha melukiskan gagasannya dalam bidang sosiologi, hukum, teknologi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dan menghasilkan banyak terobosan penting.

Tidak sedikit pula yang sudah berusaha memunculkan ide terbaiknya untuk membentuk keteraturan di dunia maya, dalam studi hukum. Dan kajian hukumlah yang sampai saat ini dan nanti, masih memiliki banyak tugas yang belum bisa diterapkan dalam tatanan masyarakat baru ini, jika harapannya adalah mencapai kekuatan serupa untuk mampu menyusun rumusan terbaik dalam masyarakat di luar jaringan (offline).

Saya berharap, apa yang saya susun dalam buku maupun melalui blog ini dapat menjadi salah satu jalan terbuka menuju studi cyber law Indonesia yang lebih baik. InsyAllah. Sebagai sebuah usaha manusia, tidak luput juga dari banyak kekurangan. Saran dan kritik akan sangat membantu.

Friday, January 15, 2016

Budaya Membaca yang Surut

15/1/2016
Apakah sudah sedemikian runtuh landasan generasi untuk mencintai kebiasaan membaca?
---
Pada era 90-an ketika masa-masa saya masih di awal bangku sekolah hingga selesai, dan di awal milenia baru, 2000-an, saya masih bisa menikmati suasana budaya baca yang bisa dikatakan cukup konstan dari tahun ke tahun dan terkadang meningkat. Buku menjadi pegangan siapa saja. Sesama teman berbagi wawasan dan temuan dari satu buku dan buku lainnya.
Hari-hari masa sekolah bahkan banyak berakhir di Perpustakaan kecil di kecamatan, atau bahkan menyicil pekerjaan rumah bersama di sana. Kalau penat, main ping-pong di belakang perpustakaan itu. Kita bisa membawa buku di mana saja, bercengkrama di sawah berbagi kisah usai sekolah.
Masa kuliah juga tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya kita jadi menemukan banyak teman dari berbagai latar belakang berbeda dalam tradisi membaca. Hal ini mempengaruhi bagaimana mereka menyelesaikan tugas dan posisi dalam ruang diskusi.
---
Ketika pertama kali menggunakan telepon selular di sekitar tahun 2000, komunikasi yang handy dengan cukup membaca pesan dan membalasnya. Menjadikan sadar akan efisiensi, begitu yang banyak kita pahami.
Namun berangsur, ketika alat komunikasi tersebut semakin marak dan lazim berada di tangan siapa saja, efisiensi jadi meliputi banyak hal, termasuk tuntutan untuk lebih efektif dalam menggunakan waktu. Kemampuan menangani tugas dengan cepat menjadi pokok, waktu ditekan karena komunikasi untuk konfirmasi atau refisi yang dulu diperlukan dalam pertemuan-pertemuan, bisa cukup dengan sms. Waktu untuk bertemu jadi hilang, dan disingkat hanya dengan percakapan via telepon genggam.
Pada masa itu, kesibukan kita makin padat dan mulai sibuk masing-masing, memperjarang pertemuan-pertemuan.
---
Internet, sebagaimana diuraikan Nicholas Carr dalam The Shallows, memang mendangkalkan cara kita berpikir. Generasi yang ketika mereka lahir sudah mengenal Google dan Wikipedia, mampu mencari jawaban lebih cepat dari pada kita di masa lalu.
Tetapi, kemampuan ini membuat tidak adanya kemampuan komparasi sumber. Apa yang mereka dapatkan adalah instan, dangkal, dan lekas terlupakan. Itulah kelemahan majemuk masa ini (saya tidak suka menyebut 'generasi ini', toh generasi lama pun ikut larut dalam arus besar budaya infomasi ini), terutama pada masyarakat yang membiarkan dan tidak mempunyai tradisi membaca yang mengakar kuat.
---
Masa surutnya Koran, dan banyaknya media berita harian cetak yang mulai gulung tikar, bergesernya jurnalisme dengan konsep kepegawaian menjadi sekumpulan blogger dan populernya citizen journalism.
Termuatnya tulisan di koran tidak sekeren di masa lalu. Situs-situs berita menjadi peralihannya.
Kita hilang rasa 'raba' dan 'penciuman' terhadap teks, kesan yang dulu bisa kita raba dan mencium kertas serta teks, kini hanya visual.
---
Pengalaman lama di dunia periklanan, menjelaskan bahwa promosi yang lebih melibatkan seluruh panca-indera akan menanamkan kesan lebih mendalam dan berbekas lebih lama (raba, penglihatan, penciuman, pendengaran).
Untuk itulah lantas media melengkapi dengan video, atau audio, untuk kesan lebih kuat dari informasi yang mereka berikan.
Sayangnya, kemudahan mendapatkan informasi membuat semuanya cepat sekali melintas dalam pikiran. Dan internet selalu mendorong kita untuk keep scrolling and scrolling. Tonton video ini dan itu di Youtube. Masuk dalam emosi teman-teman yang tak kau kenal di facebook, ikut berkomentar dan berpolemik.
Arus informasi mempengaruhi arus emosi, terkadang membuat orang sedemikian labil.
---
Dahulu, satu buku bisa kita dekam dalam membacanya hingga berhari-hari. Kini jika ada satu pertanyaan terhadap mahasiswa (dengan tradisi baca minim), dia akan segera browsing, singkat, tinggal meringkasnya. Bahkan perlu merengek jika tidak menemukan pdf atau data yang pas. Perjuangan mencari buku hingga ke kota-kota lain sudah surut atau hilang. Otak bekerja pendek dan instan, shallow, dangkal, kata Carr.
---
Akhir kata.
Dalam tulisan semacam ini, ada seorang teman yang berkomentar, bahwa tradisi membaca kita tidak bermasalah. Karena kita dan anak-anak muda juga masih membaca. Tetapi permasalahannya adalah dalam upaya mendapatkan makna dan merangkum ide menjadi gagasan baru dalam tulisan dan informasi yang majemuk.
Bisa ada benarnya jawaban dia untuk kita renungkan.

Saturday, November 7, 2015

Bagaimana Kita Sebaiknya Memulai Blog ini?

Blog ini disusun untuk menjelajahi perjalanan luas dalam ruang gerak manusia di ruang sosialnya, ruang nyata, dan akan terkait lebih luas dengan interaksi manusia di mayantara, internet.

Holistik dalam Mengkaji Hukum dan Internet

Studi Hukum sejak lama menjadi bidang yang tidak berdiri sendiri, terkait dan terhubung dengan banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya...