Friday, January 15, 2016

Budaya Membaca yang Surut

15/1/2016
Apakah sudah sedemikian runtuh landasan generasi untuk mencintai kebiasaan membaca?
---
Pada era 90-an ketika masa-masa saya masih di awal bangku sekolah hingga selesai, dan di awal milenia baru, 2000-an, saya masih bisa menikmati suasana budaya baca yang bisa dikatakan cukup konstan dari tahun ke tahun dan terkadang meningkat. Buku menjadi pegangan siapa saja. Sesama teman berbagi wawasan dan temuan dari satu buku dan buku lainnya.
Hari-hari masa sekolah bahkan banyak berakhir di Perpustakaan kecil di kecamatan, atau bahkan menyicil pekerjaan rumah bersama di sana. Kalau penat, main ping-pong di belakang perpustakaan itu. Kita bisa membawa buku di mana saja, bercengkrama di sawah berbagi kisah usai sekolah.
Masa kuliah juga tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya kita jadi menemukan banyak teman dari berbagai latar belakang berbeda dalam tradisi membaca. Hal ini mempengaruhi bagaimana mereka menyelesaikan tugas dan posisi dalam ruang diskusi.
---
Ketika pertama kali menggunakan telepon selular di sekitar tahun 2000, komunikasi yang handy dengan cukup membaca pesan dan membalasnya. Menjadikan sadar akan efisiensi, begitu yang banyak kita pahami.
Namun berangsur, ketika alat komunikasi tersebut semakin marak dan lazim berada di tangan siapa saja, efisiensi jadi meliputi banyak hal, termasuk tuntutan untuk lebih efektif dalam menggunakan waktu. Kemampuan menangani tugas dengan cepat menjadi pokok, waktu ditekan karena komunikasi untuk konfirmasi atau refisi yang dulu diperlukan dalam pertemuan-pertemuan, bisa cukup dengan sms. Waktu untuk bertemu jadi hilang, dan disingkat hanya dengan percakapan via telepon genggam.
Pada masa itu, kesibukan kita makin padat dan mulai sibuk masing-masing, memperjarang pertemuan-pertemuan.
---
Internet, sebagaimana diuraikan Nicholas Carr dalam The Shallows, memang mendangkalkan cara kita berpikir. Generasi yang ketika mereka lahir sudah mengenal Google dan Wikipedia, mampu mencari jawaban lebih cepat dari pada kita di masa lalu.
Tetapi, kemampuan ini membuat tidak adanya kemampuan komparasi sumber. Apa yang mereka dapatkan adalah instan, dangkal, dan lekas terlupakan. Itulah kelemahan majemuk masa ini (saya tidak suka menyebut 'generasi ini', toh generasi lama pun ikut larut dalam arus besar budaya infomasi ini), terutama pada masyarakat yang membiarkan dan tidak mempunyai tradisi membaca yang mengakar kuat.
---
Masa surutnya Koran, dan banyaknya media berita harian cetak yang mulai gulung tikar, bergesernya jurnalisme dengan konsep kepegawaian menjadi sekumpulan blogger dan populernya citizen journalism.
Termuatnya tulisan di koran tidak sekeren di masa lalu. Situs-situs berita menjadi peralihannya.
Kita hilang rasa 'raba' dan 'penciuman' terhadap teks, kesan yang dulu bisa kita raba dan mencium kertas serta teks, kini hanya visual.
---
Pengalaman lama di dunia periklanan, menjelaskan bahwa promosi yang lebih melibatkan seluruh panca-indera akan menanamkan kesan lebih mendalam dan berbekas lebih lama (raba, penglihatan, penciuman, pendengaran).
Untuk itulah lantas media melengkapi dengan video, atau audio, untuk kesan lebih kuat dari informasi yang mereka berikan.
Sayangnya, kemudahan mendapatkan informasi membuat semuanya cepat sekali melintas dalam pikiran. Dan internet selalu mendorong kita untuk keep scrolling and scrolling. Tonton video ini dan itu di Youtube. Masuk dalam emosi teman-teman yang tak kau kenal di facebook, ikut berkomentar dan berpolemik.
Arus informasi mempengaruhi arus emosi, terkadang membuat orang sedemikian labil.
---
Dahulu, satu buku bisa kita dekam dalam membacanya hingga berhari-hari. Kini jika ada satu pertanyaan terhadap mahasiswa (dengan tradisi baca minim), dia akan segera browsing, singkat, tinggal meringkasnya. Bahkan perlu merengek jika tidak menemukan pdf atau data yang pas. Perjuangan mencari buku hingga ke kota-kota lain sudah surut atau hilang. Otak bekerja pendek dan instan, shallow, dangkal, kata Carr.
---
Akhir kata.
Dalam tulisan semacam ini, ada seorang teman yang berkomentar, bahwa tradisi membaca kita tidak bermasalah. Karena kita dan anak-anak muda juga masih membaca. Tetapi permasalahannya adalah dalam upaya mendapatkan makna dan merangkum ide menjadi gagasan baru dalam tulisan dan informasi yang majemuk.
Bisa ada benarnya jawaban dia untuk kita renungkan.

Holistik dalam Mengkaji Hukum dan Internet

Studi Hukum sejak lama menjadi bidang yang tidak berdiri sendiri, terkait dan terhubung dengan banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya...